TAHUN 1848 Sampai 1873 ACEH MASIH BERDAULAT
Pada Tahun 1848 Kerajaan Aceh, Dipimpin oleh Paduka Sri Sultan 'Alaiddin Manshur Syah.
Sepanjang masa pemerintahan kesultanan Aceh hampir tidak pernah tenang dari gangguan negara kolonial Belanda. Namun kedudukan Aceh tetap Berdaulat Sesuai kesepakatan Traktat London.
Padahal dalam Kesepakatan Inggris dan Belanda Agar Tidak Menganggu Pelabuhan Milik Kerajaan Aceh, Namun Akhirnya Belanda dan Inggris Melanggar Perjanjian Isi Traktat london Tersebut.
kota pelabuhan penting milik Aceh di pantai barat Sumatra diserang dan diduduki oleh Belanda. Tindakan Belanda ini memicu datangnya perlawanan dari Sultan Aceh. Krn Dlm memerintah Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah menerapkan kebijakan yang ketat terhadap kapal-kapal Asing.
Usaha untuk mempertahan kedaulatan dan kehormatan Aceh tiada hentinya diusahakan oleh Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah. Bahkan, pada tahun 1849 M Sultan mengirim Muhammad Rus (Ghuts) Sebagai utusan Aceh untuk diplomasi ke berbagai negara seperti Turki, Perancis Dll.
Surat Sultan Alauddin Manshur Syah Kpd Penguasa Khilafah Turky Utsmani ini , Memberitahukan Perihal Tentang Kejahatan Belanda Terhadap Aceh dan Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau.
Dalam tahun 1853 M, seorang pemimpin Nederlandache Handel Mij, P. J.G. Sam melakukan peninjauan ke Aceh dengan kapal yang bernama “Sumatra” dan disambut baik oleh Sultan Aceh, walaupun kondisi politik Aceh dengan Belanda sedang memanas.
Pertemuan antara Sam dan Sultan Aceh tidak membuahkan hasil apapun. Dan Pd Tahun 1855 M, Belanda mengirim kapal perang “de Haai” dibawah pimpinan Letkol Laut Courier dit Dubekart untuk mengadakan pendekatan dengan Sultan Aceh agar tercapainya suatu ikatan persahabatan.
Namun misi Courier dit Dubekart ini gagal, dikarenakan sikap Belanda yang terlalu angkuh dan sombong Dalam berdiplomasi. Berharap Sultan Aceh Harus Duluan Mengakui Persahabatan Dengan Belanda.
Pada pertemuan ini, Sultan Aceh memperingatkan Belanda agar mengembalikan Singkil dan Barus kepada Aceh. Bahkan Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah juga mengancam merebut kembali jika Belanda tidak mengembalikannya Dan Masih Menganggu Perairan Wilayah Acèh.
Pada Tahun 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan peranan dan kedudukan Acheh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Acheh.
Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk kepada Belanda.
Karena itu Sultan Acheh menjawabnya dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera.
Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan Acheh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Acheh.
Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, sudah membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan tetapi ramai penasehat militer dan sipil Belanda melarang,
kalau bisa jangan! Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar