Selasa, 07 Desember 2021

SEJARAH SINGKAT KEMUKIMAN BEURACAN

 Di pucoek Krueng na makam ulama #KEURAMAT

Mesjid tersebut dibangun oleh Tgk. Muhammad Salim pada tahun 1622 M, pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Teungku Muhammad Salim merypakan seorang ulama yang datang dari madinah yang datang kedaerah Merdu bersama Teungku Japakeh dan Malem Dagang dalam rangka pengembangan Islam.

Teukum Muhammad Salim menetap di hulu sungai Pucok Krueng, sehingga beliau memiliki gelar / laqab Teungku Di Pucok Krueng.

Mesjid tersebut direnovasi oleh masyarakat setempat pada tahun 1947 M. Tahun 1990 M oleh bidang Permuseuman sejarah kepeburkalaan Kantor Wilayah (KANWIL) Depdikbud Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Mesjid ini di pugar dengan memperbaiki dinding, mengganti beberapa dinding dan atap yang rusak.


kata Tgk Ismail sebagai bilal mesjid Tgk Dipucok Krueng.


Menurut dia, penamaan mesjid itu diberikan karena Tgk Abdussalim ketika itu menetap di Pucok Krueng (pucuk sungai) Beuracan, disana beliau juga bermunajat kepada ALLAH. Ketika Jumat, beliau turun ke Mesjid untuk menunaikan kewajibannya, sebut dia. Di kompleks sebuah guci besar yang terisi air.

image

“Meski saat diisi air itu kotor, namun setelah diambil kembali ke dalamnya, airnya sudah sangat jernih,” kata Khaidir, salah seorang warga disana. Guci tersebut kini tertanam dia dalam tanah, hanya bagian leher dan mulut gucinya yang nampak, namun kain putih dipasang sebagai pembatas dan kain penutup tersebut.


Rabu, 03 Juni 2020

Memahami Aceh Dalam Konteks: Kajian Atas Situasi Darurat Militer di Aceh 2003-2004

Penetapan status darurat militer di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan sebuah fase penting dalam upaya penyelesaian masalah Aceh. Sebuah “perjudian besar” sedang dimainkan oleh para petinggi pemerintahan, TNI, Polri, MPR dan DPR, serta lembaga-lembaga negara lainnya, yang taruhannya adalah masa depan Aceh. Opsi darurat militer ini menjadi anti-klimaks sebuah proses perundingan yang sedang berlangsung dalam sebuah rel bernama Cessation of Hostilites Agreement (CoHA) dan kemudian mengalami kebuntuan. Puncak kebuntuan tersebut adalah macetnya perundingan Joint Council di Tokyo pada tanggal 17 Mei 2003, yang kemudian dijadikan dasar oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.28/2003 tentang Pemberlakuan Status Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang berlaku efektif mulai tanggal 19 Mei 2003. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dengan Aceh telah berlangsung lama, dari semenjak proklamasi kemerdekaan. Bahkan, jika dirunut lebih jauh ke belakang, hubungan wilayah Aceh dengan pemerintah pusat kolonial Belanda juga merupakan hubungan yang paling buruk di antara wilayah-wilayah lainnya di seluruh kepulauan nusantara. Baru pada awal abad duapuluh Aceh baru dapat dikatakan “takluk” oleh pemerintah kolonial. Tulisan ini bertujuan melihat kontekstualitas persoalan di Aceh dengan perspektif historis dan melakukan analisis atas situasi politik Aceh sekarang ini. Maksud tulisan ini adalah melihat konteks persoalan Aceh dalam sebuah rentang waktu yang cukup panjang sekaligus memahami mengapa persoalan Aceh sampai sekarang ini tidak kunjung selesai. Ada babakan-babakan penting yang perlu menjadi titik perhatian dalam melihat proses pembentukan Aceh baik dari sebuah negara independen sampai menjadi sebuah propinsi bagian dari Republik Indonesia. Fokus utama analisis ini adalah melihat bagaimana relasi ekonomi-politik-budaya antara Aceh dan Indonesia terbentuk, dan melihat kecenderungan-kecenderungan yang bisa diprediksi akibat dari kebijakan-kebijakan politik yang akan diambil atas Aceh.

Sabtu, 25 April 2020

SEJARAH KESULTANAN AGUNG ATJEH


Kesultanan Muslim Agung didirikan 500 tahun yang lalu
Kesultanan Ache, yang akan menjadi agenda lagi dengan peringatan 500 tahun Kesultanan Aceh, termasuk tempat yang luar biasa dalam sejarah Islam Asia Tenggara.

Mehmet Özay - Buletin Dunia / Layanan Sejarah
20 1 1 tahun Peringatan 500 tahun berdirinya Kesultanan Dar es Salaam. Artikel ini, yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa peringatan ini bukan peristiwa biasa, adalah produk dari implikasi yang kami peroleh - setidaknya untuk saat ini - melalui studi kami tentang sejarah Ache.
Mari kita mulai dengan kalimat tegas: Sulit untuk mengatakan bahwa sejarah kelaparan belum sepenuhnya dibaca. Peran Asia Tenggara dalam Islamisasi, peran sebagai perwakilan dari peradaban Islam di wilayah tersebut, sedang menunggu untuk membuat sejarah “terlihat”. KN Chandruri menyatakan bahwa dalam studi Samudra Hindia, dunia komersial dunia Islam belum menerima perhatian yang layak dari para ilmuwan. [1] Benar benar! Namun, jangan pergi tanpa mengatakan bahwa kalimat ini, seperti yang akan dibahas secara rinci di bawah, kurang dalam pendekatan kami. Apa yang hilang Kota-kota agung, terutama ibu kota Bandar Atjeh, bukan hanya kota perdagangan ...
Pemahaman historis tentang Aceh, yang mengusung pendekatan orientalisme klasik yang mendominasi ilmu-ilmu sosial, adalah sebagai penghalang untuk memahami peran kesultanan dalam hal pengaruhnya terhadap geografi Islam global pada masa itu, serta geografi Asia Tenggara. Syarat utama untuk mengatasi hal ini adalah dengan menyadari hal ini. Kemudian, untuk mengatasi masalah ini, diperlukan strategi hermeneutis. Pendekatan ini akan membawa interpretasi dan ekspansi baru bersamanya, dan akan berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan peran yang dimainkan oleh Kesultanan Ache dalam sejarah.
Mengapa kita mengatakan ini? Seperti yang dinyatakan di berbagai kalangan, hubungan yang dibangun dan dikembangkan oleh dunia Muslim selama abad pertengahan belum cukup dipelajari, nilai yang pantas mereka dapatkan belum dihargai, dan mereka telah diabaikan. Jika diungkapkan dalam contoh Negara Ottoman, apa yang kita maksudkan dapat dipahami sebagian. Meskipun pendekatan bahwa Negara Ottoman adalah negara darat dalam konteks Balkan, Eropa Tengah, Afrika Utara dan Kaukasus dicoba dihilangkan dengan identitas pelaut di Mediterania, bagian penting dari kontribusi ke arah ini dicoba untuk dipercepat dengan menghubungkan dengan Samudra Hindia melalui Suez. Namun, keberadaan Ottoman di Samudera Hindia, Tidak mungkin membaca dan memahami kebijakan dan tujuannya tanpa Kesultanan Ache, yang telah menunjukkan kehadiran jangka panjang di wilayah ini. Mari kita perjelas masalah ini sedikit lagi. Keberadaan Utsmani di Samudera Hindia ditunjukkan sebagai bukti bahwa ia bukan hanya tanah tetapi juga negara maritim. Namun, kurangnya prestasi nyata untuk mendukung pandangan ini diabaikan untuk mengganggu wacana kekaisaran maritim. Kegagalan material di tiga ekspedisi laut utama ke wilayah Barat Samudra Hindia tidak dapat dijelaskan oleh fakta bahwa Ottoman tidak memiliki teknologi maritim yang cocok untuk kondisi laut. Aset maritim raksasa ini, baik selama berabad-abad perdagangan maritim dan masa kolonial yang dimulai dengan Portugis, ini dilakukan melalui kolaborasi dan aliansi dengan administrasi di kota-kota pelabuhan strategis di sekitar laut ini. Persis pada titik inilah pertanyaan tentang seberapa jauh visi politik dan tindakan negarawan Utsmaniyah membuat hubungan dengan Kesultanan Ache masuk akal.
Sangat kontroversial bahwa sejarah Islam Asia Tenggara ditempatkan dengan baik dalam sejarah umum Islam. Ketika isu Turki mendekati khusus dan bersejarah Menimbang bahwa dilakukan Seljuk sedikit dari Kekaisaran Ottoman dan ukuran hubungan digelar sepanjang sejarah dengan negara-negara Asia Tenggara yang tidak hanya diabaikan, di atasnya akan terlihat tidak terpenuhi tanggung jawab untuk mengenali negara menunjukkan adanya jangka panjang di wilayah ini. Sebagai contoh, Asia Tenggara pada umumnya, Kesultanan Ache pada khususnya, dan buku-buku sejarah terbatas dalam karya-karya yang diterbitkan dalam konteks kebijakan Samudra Hindia Negara Ottoman. Karya-karya yang disebutkan dengan referensi langsung dan tidak langsung untuk hubungan Turki-Aceh terbatas pada karya İsmail Hakkı Göksoy. Namun, Aceh adalah buku sejarah yang komprehensif akan menarik bagi Turki, sayangnya, tidak ada kalangan ilmiah. Mempertimbangkan konteks Asia Tenggara, hubungan politik, ekonomi dan budaya yang didirikan oleh Ache State dengan geografi Timur Tengah dan Negara Ottoman dibandingkan dengan para sultan dan negara-negara regional lainnya [3] berarti dengan sendirinya, tetapi Kami berpendapat bahwa ini adalah bagian penting dari sejarah Islam dalam konteks kontribusinya terhadap kemunculan dan perkembangannya. Berikut Oleh karena itu dibatasi untuk Ortaog studi sebagian besar dari sejarah Islam di Turki, karena cakupan semua geografi hak lainnya yang relevan, terutama di Asia Tenggara menjadi tuan kekurangan utama. Mempertimbangkan konteks Asia Tenggara, hubungan politik, ekonomi dan budaya yang didirikan oleh Ache State dengan geografi Timur Tengah dan Negara Ottoman dibandingkan dengan para sultan dan negara-negara regional lainnya [3] berarti dengan sendirinya, tetapi Kami berpendapat bahwa ini adalah bagian penting dari sejarah Islam dalam konteks kontribusinya terhadap kemunculan dan perkembangannya. Berikut Oleh karena itu dibatasi untuk Ortaog studi sebagian besar dari sejarah Islam di Turki, karena cakupan semua geografi hak lainnya yang relevan, terutama di Asia Tenggara menjadi tuan kekurangan utama. Mempertimbangkan konteks Asia Tenggara, hubungan politik, ekonomi, dan budaya yang didirikan oleh Ache State dengan geografi Timur Tengah dan Negara Ottoman dibandingkan dengan para sultan dan negara bagian lainnya [3] berarti dengan sendirinya, tetapi Kami berpendapat bahwa ini adalah bagian penting dari sejarah Islam dalam konteks kontribusinya terhadap kemunculan dan perkembangannya. Berikut Oleh karena itu dibatasi untuk Ortaog studi sebagian besar dari sejarah Islam di Turki, karena cakupan semua geografi hak lainnya yang relevan, terutama di Asia Tenggara menjadi tuan kekurangan utama. Meskipun hubungan ekonomi dan budaya yang intens [3] masuk akal dalam dirinya sendiri, kami berpendapat bahwa Ache adalah bagian penting dari sejarah Islam dalam hal kontribusinya terhadap kemunculan dan perkembangan Islam Asia Tenggara. Berikut Oleh karena itu dibatasi untuk Ortaog studi sebagian besar dari sejarah Islam di Turki, karena cakupan semua geografi hak lainnya yang relevan, terutama di Asia Tenggara menjadi tuan kekurangan utama. Meskipun hubungan ekonomi dan budaya yang intens [3] masuk akal dalam dirinya sendiri, kami berpendapat bahwa Ache adalah bagian penting dari sejarah Islam dalam hal kontribusinya terhadap kemunculan dan perkembangan Islam Asia Tenggara. Berikut Oleh karena itu dibatasi untuk Ortaog studi sebagian besar dari sejarah Islam di Turki, karena cakupan semua geografi hak lainnya yang relevan, terutama di Asia Tenggara menjadi tuan kekurangan utama.
Meskipun Asia Tenggara tetap berada di pinggiran peradaban Islam, itu adalah nilai realitas, tetapi ini tidak mengharuskan untuk mengabaikan nilai-nilai Islam yang dihasilkan dalam geografi yang dipertanyakan, tetapi menganggapnya sebagai nilai dalam dirinya sendiri. Pada titik ini, terlihat bahwa defisit yang sama dalam pengabaian sejarah Turki-Islam - setidaknya sampai saat ini - dalam pendekatan metodologis linear dari sejarah Barat dibuat terhadap negara-negara Muslim Asia Tenggara dalam sejarah Turki-Islam.
Berada di hadapan dunia Islam, di sebelah barat Selat Malaka, dalam geografi ini, yang hampir menjadi mata negara-negara Eropa, terutama untuk kepentingan geografis kekayaan alam bawah tanah dan di atas permukaan tanah, serta kepentingan geo-strategis dengan peluang yang ditawarkan oleh pelabuhan yang dilindungi dan lahan pertanian subur yang berjalan sejajar dengan pantai. Kami bertanggung jawab untuk mengingatkan pentingnya Akropolis Kesultanan Darussalam [4] dalam sejarah Islam dengan para sultannya, yang telah didirikan dengan berbagai nama selama lebih dari seribu tahun, terutama keberadaannya yang berlangsung sekitar 400 tahun antara 1511-1904. Namun, pemahaman negara-negara Islam, interpretasi negara, sultan, cendekiawan, dan semua orang yang telah memerintah di wilayah tersebut membatasi keberadaan Aceh hanya pada fitur-fitur yang hanya diberikan oleh geografi, Tidak boleh diabaikan bahwa mereka memiliki nilai yang signifikan dengan kontribusi mereka. Semua ini adalah aspek terpenting yang membuat Aceh tetap hidup selama 400 abad. Karena geo-politik, geo-strategis dll. tidaklah mungkin untuk menerima konsep secara memadai untuk membuat geografi yang didefinisikan melalui konsep-konsep ini bermakna. Mengabaikan faktor manusia juga mengarah pada pendekatan "berbahaya" karena membuat pengabaian fakta seperti tradisi, produksi ilmiah, nilai-nilai peradaban melekat.
Selain sejarawan orientalis yang telah melakukan penelitian luas tentang sejarah Ache hingga saat ini, studi tentang sejarawan lokal Acel tidak dapat dikatakan cukup, meskipun mereka memberikan data penting. Secara khusus, studi yang didominasi oleh konteks orientalis tidak akan membantu untuk memahami Ache dan Acelia juga tidak akan sepenuhnya mengungkapkan peran Kesultanan Ache dalam sejarah Islam. Sedemikian rupa sehingga kita berpikir bahwa pendekatan ini dibenarkan dengan melihat bahwa karya-karya orientalis, yang merupakan produk dari perspektif yang berpusat di Eropa di mana fenomena "ketidaknyamanan antropologis" melekat, menyebabkan ketidakpuasan di antara sejarawan lokal dan sebagai akibatnya, sejarawan domestik mulai mempertimbangkan sejarah geografi mereka dari perspektif yang berbeda. 5] Akibatnya, Yunus Cemil, Muhammad Said, Ali Haşimi, salah satu sejarawan lokal di Aceh,
Sebagian besar sumber daya yang tersedia tentang sejarah kelaparan adalah dalam bahasa Inggris dan Belanda. Selama kegiatan kolonial di Nusantara [6], itu adalah peristiwa bahwa penulis Belanda dari berbagai disiplin ilmu dan terutama karya-karya yang ditulis oleh penulis Belanda selama abad ke-20 tidak dapat disajikan kepada massa karena hambatan bahasa hingga periode terakhir. Namun, karya-karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan berbagai studi akademik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, bukan hanya sumber-sumber Belanda dan Inggris yang memahami sejarah Aceh, tetapi juga Samudera Hindia dari kolonialisme Portugis, yang menjadi dasar untuk pendirian Kesultanan Ache. Sangat diragukan berapa banyak karya yang telah dicatat sejak awal kota dan yang membawa informasi yang sangat berharga tentang wilayah ini di abad-abad terakhir telah dibagikan di kalangan ilmiah yang luas. Sumber Portugis saja? Sumber Yaman, Venesia, India (Gücerat, Surat, Keling), Thailand (Siam), Bengal, Prancis, Cina, Iran, Turki (Ottoman), dan Melayu berisi dokumen-dokumen penting dalam mengungkap sejarah Aceh.
Dalam konteks ini, karya pemindaian yang diterbitkan dalam berbagai bahasa akan memainkan peran penting dalam menangani semua aspek sejarah Ache. Namun, dengan syarat itu harus diingat! Menciptakan pemahaman tentang sejarah Ache berdasarkan karya-karya para peneliti barat murni akan menghadapi kita dengan pendekatan yang mencoba melihat sejarah Ache dengan pendekatan kolonial murni barat, dan pada akhirnya itu tidak dapat dihindari untuk sejarah Ache yang ingin dipahami orang Eropa. Patut diingat persiapan awal yang dibuat oleh Snouck Hurgronje selama ia tinggal di Mekah, dan kemudian kritik-kritik dibawa ke karya yang diberi nama "Orang Aceh [7]), yang ia tulis setelah 1891-92 tahun di Aceh. Di sisi lain, bahasa Portugis, terutama di abad ke 16 dan 17, Harus diingat bahwa karya-karya yang ditulis oleh pelancong Inggris dan Belanda atau sejarawan resmi yang menyertai armada komersial dan militer mereka pasti diambil dari perspektif budaya dan sejarah Barat. [8] Dalam konteks ini, adalah suatu keharusan yang tak terhindarkan untuk mempertimbangkan sejarah Aceh secara komparatif dengan akses langsung ke sumber daya yang tersedia saat ini.
[1] Roxani Eleni Margariti, Aden & Perdagangan Samudra Hindia: 150 Tahun dalam Kehidupan Pelabuhan Arab Abad Pertengahan, Universitas North Carolina Press, Chapel Hill, 2007, hlm. 6.
[2] Zaman Eksplorasi Ottoman "oleh Giancarlo Casale, Oxford University Press, 2010, hlm. 62; CR Boxer," Catatan tentang Reaksi Portugis terhadap Kebangkitan Perdagangan Rempah Laut Merah dan Bangkitnya Aceh: 1540-1600 ", MN Pearson, (Ed.), Rempah-rempah di Dunia Samudera Hindia, Variorum, 1996, hlm. 274.
[3] Anthony Reid, Sebuah Perbatasan Indonesia -Aceh dan Sejarah Lain di Sumatra-, Singapore University Press, Singapura, 2005, hlm. 89.
[4] Beberapa sejarawan memberikan 1904, ketika penguasa terakhir Aceh ditahan oleh Belanda, sementara yang lain memberi 1911 sebagai tanggal akses ke kesultanan.
[5] AH Johns, "Islam di Asia Tenggara: Masalah Perspektif", CD Cowan; OW Wolters, (Ed.), Sejarah dan Historiografi Asia Tenggara - Disampaikan ke Aula DGE-, Cornell University Press, Ithaca, p. 305.
[6] Nama yang diberikan untuk semua pulau mulai dari Pulau Weh (Sabang) hingga Merauke.
[7] Snouck Hurgronje, Orang Aceh, Diterjemahkan: AWS O'Sullivan, Vol 1/2, EJBrill, Leiden, 1906.
[8] Ito Takeshi, Dunia Adat Aceh: Studi Sejarah Kesultanan Aceh, Disertasi PhD, Universitas Nasional Australia, 1984, hlm. 4, 7.
Diperbarui pada: 04 Desember 2010, 16:04


Minggu, 02 Februari 2020

ASAL USUL ROKOK

ASAL USUL ROKOK.

Para Perokok
Harus Tahu Asal Usul Rokok Yang  Dihisap.

Dahulu Kala Ada Sebuah Kerajaan Yang Bernama Kerajaan Rokok.

Kerajaan Tersebut Dipimpin Oleh Seorang Raja Bernama Raja Ardath.

Raja Ardath Mempunyai Seorang Anak Bernama Kansas, Yang Pernah Menjadi Anak Didik Adipati Minak Jinggo.

Suatu Hari Ketika Sang Surya Tenggelam di Ufuk Barat & Star Mild Menyinari Angkasa,
Kansas Diculik Oleh Tiga Penjahat Bernama Dji, Sam, Soe. Kansas Disekap di Gudang Garam.

Raja Ardath Mendapat Informasi Bahwa Putranya Disekap di Gudang Garam Dan
Dia Mengutus Seorang Ksatria Yang Bernama Marcopolo.

Sesampainya di Gudang Garam, Marcopolo Bertarung Dengan Dji, Sam, Soe, Dan Dji-Sam-Soe Babak-Belur Dihajar Oleh Marcopolo, Sehingga Wajah Dji-Sam-Soe Penuh Dengan Bentoel Biru.

Akhirnya Marcopolo Berhasil Menyelamatkan Kansas, Walaupun Dikejar Apache Tetapi Kondisi Tubuhnya Lemah Karena Disiksa Selama Disekap.

Marcopolo Membawa Kansas ke Tabib Wismilak Yang Terkenal di Marlboro Yogyakarta.

Tabib Wismilak Menyuntikkan Obat ke Dalam Tubuh Kansas Dengan Menggunakan Djarum Super.

Akhirnya Kansas Sehat & Tumbuh Dengan Sampoerna.

Demikianlah Riwayat ini Disampaikan Oleh Para
AHLI HISAP...!!!

Jika Ada Yang Mau Menambahkan ...
SILAHKAN ...!!!

Senin, 27 Januari 2020

Asal Muasal Habib Bugak

Mengenal Lebih Dekat Habib Bugak Asyi, Pewakaf Baitul Asyi
****************************

Dua tokoh Aceh, Dr. Al Yasa’ Abubakar (Kepala Dinas Syariat Islam NAD) dan Dr. Azman Isma’il, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh) telah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal Waqaf Habib Bugak Asyi.

Menurut akta ikrar Waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah.

Dalam ikrar wakaf disebutkan, “Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah.

Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram,”

Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap diMekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmudbin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru.

Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anaknya bernama Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr. Abdul Lathif Baltho.

Siapa sebenarnya Habib Bugak Al-Asyi? Banyak orang Indonesia, bahkan warga Aceh terutama generasi saat ini yang mungkin tak mengenal sosok ini. Apalagi, tak banyak pula literatur yang menuliskan soal Ulama keturunan langsung Nabi Muhammad Sahallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini.

Untuk mengetahu siapa sosok sebenarnya Habib Bugak Asyi. sejak tahun 2007, Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty, Direktur Nasional Red Crescent telah membentuk tim peneliti untuk mengungkap
(Baca : Sejarah hidup dan perjuangan Habib Bugak).
Di bulan Ramadan 1431 H lalu, ia juga sempat menemui langsung dengan Syekh Munir Abdul Ghani Ashi yang menjabat Direktur Pengelola (Nadzir) Wakaf Habib Bugak di Mekkah.

Menurut Hilmi, Habib Bugak hanya nama samaran yang digunakan oleh Pewakaf untuk menjaga keikhlasan hati dalam beribadah. Syekh Munir menyebutkan Habib adalah gelar untuk Sayyid atau keturunan Rasulullah yang umum digunakan di Mekkah pada masa itu, yakni sebelum berkuasanya Dinasti Ibnu Saud, penguasa Kerajaan Saudi sekarang.

Sementara Bugak Asyi adalah nama sebuah daerah di Kerajaan Aceh pada tahun 1800 M lalu, ketika wakaf diikrarkan. Sehingga adanya simpang siurnya sosok HabibAsyi ini, mulai ada oknum yang merekayasa berbagai cerita untuk keuntungan pribadi.

Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri atas huruf: ba, waw, jim dan a’in sebagaimana ditulis dalam ikrar wakaf, sementara dalam tulisan Arab-Melayu Aceh: ba, waw, kaf, alif dan hamzah sebagaimana tertulis dalam Sarakata Sultan Kerajaan Aceh.

Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800-an, atau tahun dibuatnya ikrar wakaf.

“Setelah penelitian, saya dan tim peneliti lebih cenderung memilih Bugak yang masuk dalam wilayah Peusangan, Matang Glumpangdua, Kabupaten Bireuen,” kata Hilmi.

Dari sejarah, nama Bugak— jadi bagian Kecamatan Jangka—dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar, dan lainnya.

Menurut dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan cop sikureng, disebutkan satu wilayah bernama Bugak menjadi wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Kejrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya. Sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai kini dan menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Peusangan, Kecamatan Jangka, dan Kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.

Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk ahlul bait (keturunan) Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali. Biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.

Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.

Menurut penelitian dan penelusuran, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi delapan generasi.

Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.

Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun makamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjong dan dikuti oleh ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.

Hasil penelitian di sekitar Bugak dan wilayah yang berdekatan dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Beliau adalah Tengku Chik atau Tengku Habib dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya.

Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.

Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari keturunan Ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid. Syeikh ini dan penerusnya Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai Tgk. Chik Awe Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe Geutah Peusangan, Bireuen.

Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak Asyi. Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-Baid adalah Ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh Darussalam dan kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah Sultan Aceh Darussalam.

Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi pada keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib Abdurrahman Al-Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak, sementara Syekh Abdullah al-Baid bermukim di Awe Geutah mendirikan dayah dan wafat di sana.

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang berdekatan.

Menurut anak cucu Habib Abdurrahman Al-Habsyi, mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tgk. Chik Awe Geutah, bahkan memiliki hubungan kekerabatan karena tali perkimpoian. Fakta ini secara jelas menunjukkan siapa sebenarnya Habib Bugak Asyi itu, yang tidak diragukan adalah seorang Habib yang berasal dari Bugak yang berdekatan dengan asal Nadzir di Awe Geutah Peusangan.

Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi.

Ketegangan tak terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala.

Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.

Saat imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, Habib dan Ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.

Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)

Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp 7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.

Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong berjumlah lebih 10 unit.

Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya sekitar antara SR 1.100 sampai SR 2.000, dengan jumlah total Rp 13,5 milyar rupiah.

Nadzir Waqaf Habib Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks Pemondokan Haji yang mampu menampung 5.000 jamaah yang berasal dari Aceh. Hasil wakaf juga digunakan untuk menyewakan beberapa bangunan lainnya untuk kepentingan masyarakat Aceh.

Menurut catatan, setelah kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi bermukim dan dimakamkan di Pante Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas dari catatan sejarah yang masih perlu disempurnakan, sosok Habib Bugak ini memang menjadi sesuatu yang dirindukan. Terbukti, sudah lebih dari 200 tahun ia wafat, sampai kini amalnya pun terus bermanfaat. (Faisal Rachman, dari berbagai.

Jumat, 17 Januari 2020

Suku Aceh Adalah Suku Bangsa Pertama di Indonesia yang Memeluk Agama Islam

Suku Aceh Adalah Suku Bangsa Pertama di Indonesia yang Memeluk Agama Islam. Suku Aceh adalah suku bangsa yang bertempat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, suatu provinsi berada paling ujung sebelah barat Indonesia serta paling ujung utara pulau Sumatera. Bahasa sehari-hari yang digunakan untuk suku Aceh ialah bahasa Aceh. 

Suku Aceh Adalah Suku Bangsa Pertama di Indonesia yang Memeluk Agama Islam

Bahasa Aceh masih bersaudara dekat dengan bahasa Mon Khmer (Champa) adalah bangsa yang berada di kawasan Indochina.

Nenek moyang suku Aceh diperkirakan berasal dari berbagai macam keturunan suku-bangsa, yaitu Cham, Arab, Melayu dari Semenanjung Malaysia, serta India. Dulu kala sebelum suku Aceh memeluk agama Islam, budaya Hindu menjadi kehidupan penduduk Aceh, terbukti ada tradisi budaya Aceh mengandung unsur Hindu serta India. Disamping itu banyak kosakata yang terdapat dalam bahasa Aceh masih menggunakan bahasa dasar India dan Sanskerta. Adat istiadat asli suku Aceh pun terdapat perubahan sejak masyarakatnya memeluk agama Islam serta disesuaikan dalam budaya agama Islam.

Suku Aceh merupakan suku pertama di Indonesia yang memeluk dan beragama Islam. Masyarakatnya mendirikan sebuah Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Di waktu itu tanah Aceh banyak disinggahi oleh suku-bangsa asing. Pedagang India yang berasal dari Gujarat serta Tamil datang melakukan hubungan bilateral perdagangan, Seterusnya banyak yang menetap serta melakukan kawin-campur dengan penduduk asli Aceh, ini terbukti dengan orang Aceh yang berpenampilan wajah seperti orang India serta Tamil, berkulit gelap serta rambut keriting.








Suku Aceh Adalah Suku Bangsa Pertama di Indonesia yang Memeluk Agama Islam

Suku Aceh Adalah Suku Bangsa Pertama di Indonesia yang Memeluk Agama Islam. Suku Aceh adalah suku bangsa yang bertempat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, suatu provinsi berada paling ujung sebelah barat Indonesia serta paling ujung utara pulau Sumatera. Bahasa sehari-hari yang digunakan untuk suku Aceh ialah bahasa Aceh. 

Suku Aceh Adalah Suku Bangsa Pertama di Indonesia yang Memeluk Agama Islam

Bahasa Aceh masih bersaudara dekat dengan bahasa Mon Khmer (Champa) adalah bangsa yang berada di kawasan Indochina.

Nenek moyang suku Aceh diperkirakan berasal dari berbagai macam keturunan suku-bangsa, yaitu Cham, Arab, Melayu dari Semenanjung Malaysia, serta India. Dulu kala sebelum suku Aceh memeluk agama Islam, budaya Hindu menjadi kehidupan penduduk Aceh, terbukti ada tradisi budaya Aceh mengandung unsur Hindu serta India. Disamping itu banyak kosakata yang terdapat dalam bahasa Aceh masih menggunakan bahasa dasar India dan Sanskerta. Adat istiadat asli suku Aceh pun terdapat perubahan sejak masyarakatnya memeluk agama Islam serta disesuaikan dalam budaya agama Islam.

Suku Aceh merupakan suku pertama di Indonesia yang memeluk dan beragama Islam. Masyarakatnya mendirikan sebuah Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Di waktu itu tanah Aceh banyak disinggahi oleh suku-bangsa asing. Pedagang India yang berasal dari Gujarat serta Tamil datang melakukan hubungan bilateral perdagangan, Seterusnya banyak yang menetap serta melakukan kawin-campur dengan penduduk asli Aceh, ini terbukti dengan orang Aceh yang berpenampilan wajah seperti orang India serta Tamil, berkulit gelap serta rambut keriting. 
Dan jenis makanan (kari) itu merupakan warisan kebudayaan India-Hindu (nama desa yang berasal dari bahasa Hindi, cmisal: Indra Puri). Selanjutnya pedagang dari negeri Yaman yang berasal dari provinsi Hadramaut banyak juga melakukan hubungan dagang dengan wilayah Aceh, masyarakatnya kebanyakan menetap dan melakukan kawin-campur dengan masyarakat asli Aceh. Terlihat  dari keturunan-keturunan orang Yaman dengan marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain.

Keturunan India tersebar di seluruh wilayah Aceh. Dengan letak geografisnya yang berdekatan berseberangan dari wilayah India, sehingga keturunan India mendomonasi di wilayah Aceh. 

Pedagang Tiongkok juga pernah mempunyai hubungan sangat erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah serta menghadiahi masyarakat Aceh dengan sebuah lonceng besar, dan sekarang dikenal dengan sebutan Lonceng Cakra Donya, yang tersimpan di Banda Aceh.

Ada juga pendatang dari Persia (Iran/Afghan) serta Turki, dan pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk dijadikan ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit serta serdadu perang kerajaan Aceh, sekarang ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di seluruh wilayah Aceh Besar. 

Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyenangi nama-nama warisan Persia serta Turki. Bahkan sampai ada sebutan Banda, di dalam nama kota Banda Aceh pun merupakan warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan).

Selain itu juga ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh). Mereka merupakan keturunan dari pelaut-pelaut Portugis yang di pimpinan oleh nakhoda Kapten Pinto, yang akan berlayar menuju Malaka (Malaysia), serta sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, juga sebagian besar mereka tetap tinggal serta menetap di Lam No sekitar tahun 1492-1511. Sekarang ini terlihat dari keturunan mereka yang masih mempunyai profil wajah Eropa yang kental.

Dan sebab itu banyak penduduk Aceh yang mengartikan ACEH merupakan singkatan dari kata A=arab, C=china, E=eropa, dan H=hindustan

Di Aceh terdapat banyak seni budaya, misalnya tari-tarian, antara lain: Tari Rabbani Wahed, Tari Ranup Lampuan, Tari Seudati, Tari Rateb Meuseukat, dan Tari Likok Pulo

Penduduk Aceh mayoritas bekerja di pertanian pada tanaman padi, jagung, ubi serta tanaman keras yaitu kelapa, kopi serta cengkeh. Di beberapa wilayah terpencil, ditemukan juga tanaman ganja, yang menurut cerita, sesungguhnya tanaman ini tumbuh subur secara liar di daerah pegunungan serta kaki gunung. 

Tanaman ini ditanam secara sembunyi-sembunyi, sebab tanaman dilarang oleh pemerintah. Di samping itu masyarakat suku Aceh, juga banyak yang menjadi nelayan, untuk yang tinggal di daerah pesisir pantai, serta yang lain menjadi pedagang, dan berbagai bidang profesi lainnya.
TAHUN 1848 Sampai 1873 ACEH MASIH BERDAULAT

Pada Tahun 1848 Kerajaan Aceh, Dipimpin oleh Paduka Sri Sultan 'Alaiddin Manshur Syah.

Sepanjang masa pemerintahan kesultanan Aceh hampir tidak pernah tenang dari gangguan negara kolonial Belanda. Namun kedudukan Aceh tetap Berdaulat Sesuai kesepakatan Traktat London.

Padahal dalam Kesepakatan Inggris dan Belanda Agar Tidak Menganggu Pelabuhan Milik Kerajaan Aceh, Namun Akhirnya Belanda dan Inggris Melanggar Perjanjian Isi Traktat london Tersebut. 

kota pelabuhan penting milik Aceh di pantai barat Sumatra diserang dan diduduki oleh Belanda. Tindakan Belanda ini memicu datangnya perlawanan dari Sultan Aceh. Krn Dlm memerintah Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah menerapkan kebijakan yang ketat terhadap kapal-kapal Asing. 

Usaha untuk mempertahan kedaulatan dan kehormatan Aceh tiada hentinya diusahakan oleh Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah. Bahkan, pada tahun 1849 M Sultan mengirim Muhammad Rus (Ghuts) Sebagai utusan Aceh untuk diplomasi ke berbagai negara seperti Turki, Perancis Dll. 

Surat Sultan Alauddin Manshur Syah Kpd Penguasa Khilafah Turky Utsmani ini , Memberitahukan Perihal Tentang Kejahatan Belanda Terhadap Aceh dan Negeri Jawa dan Negeri Bugis dan Negeri Bali dan Negeri Borneo dan Negeri Palembang dan Negeri Minangkabau.

Dalam tahun 1853 M, seorang pemimpin Nederlandache Handel Mij, P. J.G. Sam melakukan peninjauan ke Aceh dengan kapal yang bernama “Sumatra” dan disambut baik oleh Sultan Aceh, walaupun kondisi politik Aceh dengan Belanda sedang memanas. 
Pertemuan antara Sam dan Sultan Aceh tidak membuahkan hasil apapun. Dan Pd Tahun 1855 M, Belanda mengirim kapal perang “de Haai” dibawah pimpinan Letkol Laut Courier dit Dubekart untuk mengadakan pendekatan dengan Sultan Aceh agar tercapainya suatu ikatan persahabatan. 

Namun misi Courier dit Dubekart ini gagal, dikarenakan sikap Belanda yang terlalu angkuh dan sombong Dalam berdiplomasi. Berharap Sultan Aceh Harus Duluan Mengakui Persahabatan Dengan Belanda. 

Pada pertemuan ini, Sultan Aceh memperingatkan Belanda agar mengembalikan Singkil dan Barus kepada Aceh. Bahkan Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah juga mengancam merebut kembali jika Belanda tidak mengembalikannya Dan Masih Menganggu Perairan Wilayah Acèh.

Pada Tahun 1824, dimana Belanda mengambil alih kuasa Inggeris di Sumatera (Bengkulu), Belanda agaknya merasa tersekat dengan peranan dan kedudukan Acheh yang kuat di Sumatera. Sejak itulah Belanda sudah mulai menunjukkan sikap tidak jujur kepada kerajaan Acheh. 

Sesudah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Siak, tahun 1858, keadaan sudah mulai tegang, sebab dengan ditanda tanganinya perjanjian ini, maka Sultan Deli dan seluruh sultan-sultan di pesisir Timur dan Utara Sumatera tunduk kepada Belanda. 

Karena itu Sultan Acheh menjawabnya dengan mengirimkan kapal-kapal perang untuk mengadakan ronda di perairan Selat Melaka untuk memberi isyarat supaya Belanda jangan bersikap kurang ajar di Sumatera. 
Keadaan politik semakin bertambah tegang setelah Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Deli tahun 1858, tanpa sepengetahuan Kerajaan Acheh. Dalam perjanjian tersebut antara lain disebut bahwa Sultan Deli mesti memutuskan hubungan politik dengan Kerajaan Acheh. 

Pada tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, sudah membuat rencana untuk melakukan serangan kepada kesultanan Acheh, akan tetapi ramai penasehat militer dan sipil Belanda melarang, 
kalau bisa jangan! Sebab Acheh adalah bangsa yang berani berperang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri -Loudon-pada awalnya berkata: “Wilayah kekuasaan kita di Hindia Timur sudah begitu luas sekali dan sekarang susah untuk diawasi.


SEJARAH SINGKAT KEMUKIMAN BEURACAN

 Di pucoek Krueng na makam ulama #KEURAMAT Mesjid tersebut dibangun oleh Tgk. Muhammad Salim pada tahun 1622 M, pada masa pemerintahan Iskan...